Abdurrahman Wahid |
Nama
|
:
|
Abdurrahman Wahid
|
Nama
Populer
|
:
|
Gusdur
|
Nama Lahir
|
:
|
Abdurrahman
Addakhil
|
Lahir
|
:
|
7 September
1940 (Jombang, Jawa Timur, Indonesia)
|
Meninggal
|
:
|
30 Desember
2009 (umur 69), Cianjur Jakarta Indonesia
|
Kebangsaan
|
:
|
Indonesia
|
Partai
Politik
|
:
|
Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB)
|
Istri
|
:
|
Sinta Nuriyah
|
Anak
|
:
|
Alissa
Qotrunnada
Zannuba
Ariffah Chafsoh
Annita
Hayatunnufus
Inayah
Wulandari
|
Agama
|
:
|
Islam
|
Situs Web
|
:
|
www.gusdur.net
|
Biografi Abdurrahman Wahid
Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang,
Jawa Timur, 7 September 1940 meninggal di Ciganjur, 30 Desember 2009 pada umur
69 tahun) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi
Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan
Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan
Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan
berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001,
kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya
dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan
eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam
tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan
Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender
yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang
berarti ia lahir pada 4 Sya'ban 1359 Hijriah, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti
"Sang Penakluk". Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan
diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus
Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang
anak kiai yang berati "abang" atau "mas".
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam
keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari
ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, sementara kakek
dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang
mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat
dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj.
Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya
adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan
dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah
Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han
yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa),
pendiri Kesultanan Demak.
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri
Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan
penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan
sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya
terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang
saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal
17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama
perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949,
Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman
Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman
Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh
ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta
dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada
tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan
mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah
Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus
Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali
Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah
lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di
Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat,
menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat
tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di
sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga
menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah
madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon
dan Majalah Budaya Jaya.
Pendidikan di luar negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk
belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir
pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh
pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam
dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki
kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka
menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola.
Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis
majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial
Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965,
Gus Dur kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak
metode belajar yang digunakan Universitas.
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia
bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jendral Suharto
menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai
bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan
untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan
kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan
menulis laporan.
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode
pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus
mengulang belajar. Pendidikan prasarjana
Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan
barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga
meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis
majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970,
Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin
belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas
Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum
kembali ke Indonesia tahun 1971.
Awal karier
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar
negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia membuat dirinya
sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif
dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut "Prisma"
dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain
bekerja sebagai kontributor LP3ES,Gusdur juga berkeliling pesantren dan
madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu,pesantren berusaha keras mendapatkan
pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Gusdur
merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren
semakin luntur akibat perubahan ini. Gusdur juga prihatin dengan kemiskinan
pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren
mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai
agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia.
Gusdur memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis,menulis untuk
majalah dan surat kabar Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai
mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu,ia
mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia
harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Gusdur tinggal bersama
keluarganya.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gusdur masih merasa
sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan
pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974
Gusdur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas
dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Wahid menambah
pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai
dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gusdur
mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi. Namun
kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan
universitas.
Nahdlatul Ulama
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk
memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan
aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak
tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya
bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya
tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah
dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat
Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik
pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil
gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu
kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun, Wahid selalu
berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral
Benny Moerdani.
Mereformasi NU
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam
keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya
membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan
membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan
kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua
NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah
memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan,
tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan
Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur
tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya
dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara
Idham dan orang yang meminta kemundurannya.
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa
jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil
langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983
hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk
menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan
seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia
menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid
juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga
NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam
politik.
Terpilih sebagai ketua dan masa
jabatan pertama
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat
Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka
untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini
dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang
akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun, persyaratannya untuk
dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari
terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para
pejabat tinggi NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid
sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya
akan diumumkan hari itu. Namun, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham,
mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta Munas.
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru.
Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya
menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto
menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid
menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP
dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia
kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim,
Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh
Bank Dunia. Hal ini merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat
itu Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem
pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan
pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan
kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu
sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks
Muslim. Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah
salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat
pagi".
Masa jabatan kedua dan melawan
Orde Baru
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah
Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik
dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada
Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk
menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto,
diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual
Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun
1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena
ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk
Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai
komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah
dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat
menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk
merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap
Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta
anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi
untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan
tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim
surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan
menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU,
ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju.
Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima
undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.
Masa jabatan ketiga dan menuju
reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk
masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak
terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie
dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah
nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan
intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya.
Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga.
Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri
dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya
memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.
Wahid menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai
Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar
mahal ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI
yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa
pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung
pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya
sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan berikutnya
diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994
berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur. Pada saat yang sama, Gus Dur
membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember
1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai
kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan
reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia terkena stroke pada Januari 1998.
Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan kembali
Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya
kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti.
Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari
komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep
Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk
bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian yang lebih
moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah
Soeharto akan menepati janjinya. Hal
tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling
kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada
tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan
Soeharto.
Reformasi
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik
baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik: Golkar, PPP
dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk,
dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien
dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni
1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik
baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998
Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik
merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid
menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori
Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota
NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan
Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka
untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur
sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB
memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan
partainya, Megawati diperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada
Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki kursi mayoritas penuh, sehingga
membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi
partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai
menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan
komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan
Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak
pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden.
Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999,
MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid
kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan
Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung
Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai
wakil presiden. Setelah meyakinkan jenderal Wiranto untuk tidak ikut serta
dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun
berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati
ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Kepresidenan
Prosesi Pelantikan Presiden Abdurrahman Wahid tahun 1999.
Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri
dalam Upacara HUT RI 17 Agustus 2000 di Istana Merdeka, Jakarta
Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet
koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP,
PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet
tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi
pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto
dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial
yang korup.
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN,
Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan
Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok.
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri
Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz
mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa
pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet
melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat. Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah
Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur dengan
Israel.
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini
menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus
Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan
mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30
Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama
kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua
bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Abdurrahman Wahid di Forum Ekonomi Dunia tahun 2000.
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya
ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam
perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan
luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda,
Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi
India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus
Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan
dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali
melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi
mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir
sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta
Jendral Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang
Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana
reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur
terhadap Wiranto.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota
kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan
melanggar persetujuan. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966
yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.
Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan
kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia. Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi
Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun
2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon
Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang
penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad,
duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang
sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang
diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus
mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki
hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid
untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi
berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI
merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus menurut
pada tekanan.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di
Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu
orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan
aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai
oleh senjata TNI.
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan
Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan bahwa $4
juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur
mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun
uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal
ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga
dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan
sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal
mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi.
Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun
terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato
Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari
kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas.
Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut. Pada
awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi
Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan
kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan
ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru
lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat anggota
Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena
kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar
Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad
Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera
bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang
kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia. Ia dikritik oleh
Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom
terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh
Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan
Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia
menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga
berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk
merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar
menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 anggota
DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.
2001 dan akhir kekuasaan
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi
hari libur opsional. Tindakan ini
diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu
mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji. Abdurrahman Wahid
melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001
ketika ia mengunjungi Australia.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001,
Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu
mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertemuan tersebut
menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan
nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR
dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out
dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di
Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di
Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur
membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan. Namun, demonstran NU terus menunjukkan
dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka
siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan
disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza
Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur
mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda
visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak
dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam
aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga
jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR
mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1
Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial,
dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan
keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari
jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1
Juli 2001. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa
MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan
juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk
penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret yang
berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai
Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret
tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi
memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman
Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana
Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke
Amerika Serikat karena masalah kesehatan.
Aktivitas setelah kepresidenan
Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai
lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB, bersikeras hadir
karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro,
Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada tanggal 15 Agustus
2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum mencabut
keanggotaan Matori pada bulan November. Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori
mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut
memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan
Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari, sehari setelah Munas Matori selesai Musyawarah
Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Alwi Shihab
sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB
Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.
Pemilihan umum 2004
Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat akan memilih secara
langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal
melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak memasukannya
sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan
dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu.
Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi,
Gus Dur menyatakan golput.
Oposisi terhadap pemerintahan SBY
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik
yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno,
Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan subsidi BBM
yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.
Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak:
Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan
Inayah Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di Partai Kebangkitan Bangsa dan
saat ini adalah direktur The Wahid Institute.
Kematian
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat
sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat
dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh
orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan gangguan
ginjal juga dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009,
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai
komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia
harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid
adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri. Seminggu sebelum
dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan
perjalanan di Jawa Timur.
Testimonial
KH. Mustofa Bisri (Gus Mus)
“Menurut saya, Gus Dur itu diutus Tuhan, untuk mengajarkan Indonesia
agar pandai berbeda dengan yang lain. Karena itu, Gus Dur sangat kontroversial,
setiap sikap dan ucapannya menimbulkan kontoroversi. Dengan begitu, orang
Indonesia akan belajar bagaimana berbeda dengan orang lain. Itu sebetulnya
hakikat kehadiran Gus Dur di Indonesia.
Kemudian, kita akan menjadi Negara yang betul-betul demokratis, karena
saling menghargai pendapat orang lain. Kita Negara yang sangat plural, sangat
majemuk. Kita mempunyai slogan Bhinneka Tunggal Ika, dan itu akhir-akhir ini
seperti sedang mendapatkan tantangan orang-orang yang tidak bisa berbeda dengan
saudara-saudaranya. Gus Dur sangat berperan, sangat berjasa dan banyak. Mungkin
nanti, pengikut-pengikutnya yang bertanggung jawab untuk meneruskan perjuangannya.”
Guruh Soekarnoputra
“Saya rasa ia patut menjadi pahlawan nasional. Banyak hal-hal darinya
yang perlu diteladani dan harus diturun-temurunkan kepada generasi muda.
Misalnya apa dibuat buku tentang pemikiran-pemikirannya, biografinya dan
sebagainya.”
Viryanadi Mahatera
“Gus Dur itu salah satu tokoh yang benar-benar universal. Selama ini Gus
Dur seringkali hadir ditengah-tengah kami. Setiap kali ada even-even besar,
seperti seminar, talkshow dalam konteks pluralisme, dan lain-lain. Dan apa yang
disampaikan; pesan, petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat, ini membawa kemajuan
bagi khususnya umat budha. Gus Dur adalah penasehat kami.”
Soesilo Bambang Yudhoyono (Petikan pidato dalam penutupan upacara
kenegaraan di Ponpes Tebuireng)
“Sebagai pejuang reformasi, almarhum telah mengajari kita kepada
gagasan-gagasan universal mengenai pentingnya kita sebagai bangsa yang beragam
ini menghormati dan menghargai keadilan. Melalui ucapan, sifat, dan
perbuatannya, Gus Dur mengobarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita
kepada kemajemukan dan identitas yang tercampur dari perbedaan agama,
kepercayaan, etnis, dan kedaerahan. Disadari atau tidak, sesungguhnya ia adalah
bapak pluralisme dari multikularisme di Indonesia.”
Penghargaan
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah
penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.
Wahid dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh
Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini
dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiesenthal Center, sebuah yayasan
yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan
tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli
terhadap persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang
berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum
minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia
dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru. Wahid
juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai
nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study. Pada 21 Juli
2010, meskipun telah meninggal, ia memperoleh Lifetime Achievement Award dalam
Liputan 6 Awards 2010. Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta
Nuriyah, istri Gus Dur.
Tasrif Award-AJI
Pada 11 Agustus 2006,
Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan
Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam
memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan
demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri
dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy
Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil
menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai
protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang
wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti
Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan
lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The
Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang
RUU APP dengan kebebasan pers.
Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak
memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lembaga
pendidikan:
• Doktor
Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand
(2000)
• Doktor Kehormatan dari Asian
Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor
Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu
Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
• Doktor Kehormatan dari Universitas
Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan dari Universitas
Twente, Belanda (2000)
• Doktor Kehormatan dari Universitas
Jawaharlal Nehru, India (2000)
• Doktor Kehormatan dari Universitas
Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
• Doktor Kehormatan bidang
Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
• Doktor Kehormatan bidang Hukum dari
Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
• Doktor Kehormatan dari Universitas
Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar