Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto, (O Jawa:
Suharta (ER, EYD: Suharto) (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan
Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008
pada umur 86 tahun) adalah Presiden ke-dua Indonesia yang yang menjabat dari
tahun 1968 sampai 1998, menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama
di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The
Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang
Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin
militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor
Jenderal. Setelah Gerakan 30 September 1965, Soeharto menyatakan bahwa PKI
adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya.
Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno,
dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya
berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul
terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan
mahasiswa. Ia merupakan orang terlama yang menjabat sebagai presiden Indonesia.
Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini.
Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang
stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur.
Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia
keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling
korupsi sepanjang masa, dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar. Usaha
untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah
menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi
di Jakarta, pada tanggal 27 Januari 2008
Keluarga Soeharto
Pada saat itu keluarga Prawirowihardjo, orang tua
angkatnya mengutus Mbok Bongkek sebagai pembawa pesan lamaran disertai foto
Soeharto yang ketika itu berusia sekitar 26 tahun. Akhirnya, ia resmi menikah dengan
Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang
Wedana di Solo. Perkawinan Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti
Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26
Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun dan Siti Hartinah
berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti
Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti
Hediati Harijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami
Endang Adiningsih (Mamiek).
Awal hidup dan
pendidikan
Pada 8 Juni 1921, Sukirah melahirkan bayi laki-laki di
rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu,
Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah
Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh ayahnya,
Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki itu
diberi nama Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah yang
dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro yang
menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua anak. Perkawinan
Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya bercerai tidak lama
setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai
tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Belum genap 40 hari, bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah
Kromo karena ibunya sakit dan tidak bisa menyusui. Mbah Kromo kemudian
mengajari Soeharto kecil untuk berdiri dan berjalan. Soeharto juga sering
diajak ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong Soeharto kecil di punggung
ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak pernah dilupakan Soeharto.
Terlebih ketika kakeknya memberi komando pada kerbau saat membajak sawah.
Karena dari situlah, Soeharto belajar menjadi pemimpin. Soeharto juga suka
bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya,
Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan
tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di
Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan
ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian
memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan
di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama
Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan
sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni
semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup
kuat dari keluarga bibinya.
Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di
Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi
paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di
sanggar bersama teman-temannya. Belajar mengaji bahkan dilakukan sampai semalam
suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para
pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran
yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto
disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah
berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Pak Hardjowijono
adalah teman ayahnya yang pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga
seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu
itu.
Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai
Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto
kembali ke kampung asalnya, Kemusuk untuk melanjutkan sekolah di Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di
sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki
(sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke
sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu
membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke
sana ke mari, namun gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana,
ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak
lama kemudian, dia minta berhenti.
Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman
penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah
tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara.
Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan, karena
Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun
Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
Karier militer
Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah
militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia
tamat sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi
prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong serta resmi menjadi anggota TNI
pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat
Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi
tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah
berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan
kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA,
komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan
kolonel.
Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi
Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin
Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di
Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari
gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum
yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul
atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa
Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta
dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik
Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke
Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat
letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala
Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang. Dari Kepala
Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV
Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga sempat mewarnai perjalanan
kemiliterannya. Ia pernah dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam
Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya
yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari
perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan
militer oleh Kolonel Ahmad Yani[butuh rujukan]. Atas saran Jendral Gatot
Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia
mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan
pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian,
dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima
Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia
40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando
Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai
Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn
(Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1
Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan
merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari
Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal,
ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun
1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan
Darat (Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962,
Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan
Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya.
Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen
Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang
besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai
pelaku G-30-S/PKI.
Naik ke kekuasaan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal
Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama
pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu
Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam
dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan,
yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto,
meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam
peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan
Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan
kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan
Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965
oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto
untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde
Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri /
Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya
berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima
Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan
tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal
sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang
memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala
tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil
Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun
sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga
terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat
internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata
Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada
Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya
Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno
dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan
eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan
penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan
pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis",
kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia.
Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat
Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar
"operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama
kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di
Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar
bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya
kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada
saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard
Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and
Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis,
bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri
konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober
1965, ia segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia
menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno
melalui tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi
Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar mengambil tindakan
yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan
jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1966,
Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai
terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya
G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima
kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk
sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari
1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima
penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang
Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden
sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden
pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA)
ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS
(Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia
juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968
Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan
pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan
Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli
Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali
Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto,
Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Pada 3 Juli 1971, presiden mengangkat 100 anggota DPR
dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9 kursi wakil Provinsi Irian Barat
untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai
politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap
MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat ini,
Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari
dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik
turut melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang penguasa. Setelah mencapai
posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai menampakkan taringnya. Pada
20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu
Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan
Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978, Soeharto dilantik kembali presiden
untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik sebagai wakil presiden. Sidang Umum
MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali Soeharto sebagai presiden dan Umar
Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR
mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret
1983, Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri
atas 21 menteri, tiga menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga
pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi
formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar
negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis,
menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan
hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok dan menjalin hubungan
dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan
mendirikan dua badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta
orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap
hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis
dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman
ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan
Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika
rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah
Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan
terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan
populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika
Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim
Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat
administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto
adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat
Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia
resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia
secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit
dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi
salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan
1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari tim ekonom hasil didikan
Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka
pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai
rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing.
Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono
Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada
Ali Murtopo sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan
oposisi dengan melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam
sistem kepartaian.
Sebagai presiden
Gambar Presiden Soeharto pada uang pecahan 50.000
Roma, Italia, 14 November 1985. Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika
itu turut menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan
Pertanian Dunia (FAO). Tidak kurang dari 165 negara anggota mengirimkan
wakilnya ke perhelatan yang membetot perhatian mata dunia terhadap Indonesia
kala itu. Presiden Soeharto yang sukses mengantarkan Indonesia dari pengimpor
beras terbesar di dunia menjadi swasembada didapuk maju ke podium untuk
memberikan pidatonya. Dia menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah)
dari para petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan
kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam
pidatonya. Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan khusus
berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian
memang fantastik atau dahsyat. Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984.
Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras
yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor
beras minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih
sebagai presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan
kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata dunia tertuju lagi kepada seorang
Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan keluarga
berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan perorangan di Markas
Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan
produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak
terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi UN Population Award, penghargaan
tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh
Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB, New York
bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989. Soeharto
makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di latar
ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan organisasi
regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. “Tanpa kebaikan dan kehadiran
Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk domestic bruto di bidang
pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul Keating ketika itu. Paul
Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.
Dalam bukunya, Soeharto; Political Biography, Robert
Edward Elson menulis, “Soeharto adalah tokoh yang amat penting selama abad XX
di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon dan Ronald Reagan juga
memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto mengklaim dirinya anak petani dengan
nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai negeri Indonesia dan
mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah, di antara istri dan anak-anak
merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan diberi kepecayaan oleh
rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden,” tutur Soeharto dalam suatu
temu wicara pada Peringatan Hari Ibu ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember 1989.
Sebab itu, pada 14 September 1991, Presiden Soeharto
menolak permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh pangkalan militer di
Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR sebagai
presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini, Try Sutrisno
sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut ditetapkan MPR sebagai
presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak berambisi menjadi
presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya periode ini, Presiden
Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono selaku Menteri
Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995).
Soeharto yang mengawali kekuasaannya sebagai pejabat
presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden pada 27 Maret 1968 terus
menggenggam jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada yang memperkirakan bahwa
Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai presiden untuk periode yang
keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal dunia pada 28 April 1996.
Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya mencapai 75 tahun, ia bukan saja
bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi menerima untuk diangkat kembali
sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Ia menerima penganugerahan Bintang
Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia 76 tahun (39 September 1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto menerima PDI
pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri untuk
memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari kemudian terjadi peristiwa
27 Juli berdarah.
Upaya mengatasi
krisis dan meredam oposisi
Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa
juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi.
Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk
memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta
seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter (29 November
1997).
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan
yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden
untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden.
Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai
presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan
gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998,
Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika
di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau
memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan
kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet
Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998). Krisis moneter dan ekonomi
benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa
bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi
presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari
jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat
pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya
sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik
per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat
panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus oleh
berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan
mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisakti,
Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai
keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan artileri serta berniat datang ke
Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar
siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat
mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang
hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara
luas melalui pemberitaan radio, televise, dan surat kabar. Tewasnya keempat
mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14
Mei 1998, ibukota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei
1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang
pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari
kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT)
Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk
berkonsultasi dengan unsure pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri
Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri
sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung
MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada
21 Mei 1998.
Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan
dua mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas
Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik
Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah
Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur)
dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya
Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis
teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat
pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama
dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang
politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai
mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan
untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan
kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial
mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar
ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan
dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka
segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa.
Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang
diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers
No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan
mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus
memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan
pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari
wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok
purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang
dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran
yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan
Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi
politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal
serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif
terhadap pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pelantikan
Presiden Soeharto.
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan
pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat
banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden
Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya
berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley
sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di
kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia
mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor
(negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah
Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia
karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya
dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh
lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat
bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti
UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang
bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan
pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya
manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat
Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis
1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras
pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada
tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap
sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang
mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan
Thailand, selain Singapura, Republik Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan
partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik
di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang
menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan
dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik
dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun
dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana
muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai
utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU.
Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa
pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan
ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan
ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut
perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa
kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang
karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa catatan
atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa,
melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis,
dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis.
Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew
yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah
demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi
sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi
tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada
saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi
berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok
nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan
"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988,
1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga
partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh
karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai
Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan
Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi
Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan
Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni
Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang
kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta
kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang
campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh
Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli
1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan
ke administrasi PBB pada 1999.
Soeharto dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat
William Cohen pada tahun 1998.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok
yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik
yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi,
akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah
mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto
menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke
tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan
keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di
Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati
Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu
dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas
besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah
di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal
sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Kejatuhan Presiden
Soeharto
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan
beberapa demonstrasi, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di
televisi.
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana
pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial
Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden
Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti
pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Meskipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali
sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya,
Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh
kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik
dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan
meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun
lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan
pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Namun, Michel Camdesus, Direktur IMF mengakui bahwa apa yang dilakukan IMF di
Indonesia tidak lain sebagai katalisator jatuhnya Pemerintahan Soeharto.
Sebagaimana dikutif New York Times, Camdesus menyatakan “we created the
conditions that obliged President Soeharto Left his job".
Di Credentials Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka
Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan pidato yang terakhir kali,
demikian:
“Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan
situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di
segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang
mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa
reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta
kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan
Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun, kenyataan
hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena
tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite
tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara
sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite
Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak
diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat
sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan
pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal
8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan
pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan
berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan
pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI
saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan
MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden
RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan
Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya
memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta
maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia
tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner
dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak
memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka
untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah
jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
Sesaat kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk
pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. Setelah melaksanakan sumpah
jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan
selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto, pimpinan dan wakil-wakil
pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang turut dalam pengucapan
sumpah jabatan presiden ketika itu.
Tak berselang terlalu lama, Menteri Pertahanan Keamanan
merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan pernyataan sikap, demikian:
pertama, memahami situasi yang berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI
mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai
Presiden RI serta berdasarkan konstutusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ
Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan
mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kehendak pribadi
Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8
UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan tetap berperan aktif guna mencegah
penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam keutuhan bangsa.
Keempat, menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa,
ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan
Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya. Kelima,
ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan
dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.
Kasus dugaan
korupsi
Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden,
berbagai elemen masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan
pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada
1 September 1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan
uang yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi
Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan
menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.
Jaksa Agung AM Ghalib dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan
Cendana (Jakarta) untuk mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998).
Pada 21 November 1998, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada
pemerintah agar menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini
merupakan tindak awal pengusutan harta dan kekayaan Soeharto yang diduga
berasal dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember 1998, Presiden BJ Habibie
menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera mengambil tindakan hukum
memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998, Soeharto diperiksa
tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta sehubungan dengan dana yayasan,
program mobil nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri, dan kasus Tapos.
Majalah Time melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar negeri yang
mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto menyerahkan
surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib untuk menelisik kekayaannya di
Swiss dan Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto
mengadukan Majalah Time ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas
tuduhan memfitnah pada pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27
miliar dollar AS.
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu
Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti
Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada
1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini
menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk
Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto
menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil
pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik
hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan
jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan
perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu
Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa
pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP)
perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan
korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan
alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke
persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei
2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan pada 12 Juni 2006.
Peninggalan
Bidang politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun,
Soeharto telah banyak memengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan
kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat
memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya
Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena
kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste
Independente /partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana
bila dibiarkan merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan
ribu korban jiwa sipil.[Mei 2008] Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto
dalam masa pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak",
yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan keputusan-keputusan di DPR
kala itu disebut secara konotatif oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem
"ABS" atau "Asal Bapak Senang".
Bidang kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto
memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk
memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan
penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari
kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib
Belajar yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak
Indonesia. Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari
uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga
miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib
Belajar 9 tahun.
Kematian
Pada Tanggal 27 Januari 2008 Pukul 13.10 WIB, Soeharto
meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Kemudian sekitar pukul
14.35, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju
kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta[10]. Ambulan yang mengusung
jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta
pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan
itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi
tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan
masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak
Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto
memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil
Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet
terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3
menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden
menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua
Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari
rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30
WIB[11] menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan
diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk
kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di
Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke
liang lahad pada pukul 12.15 WIB[12] bersamaan dengan berkumandangnya adzan
dzuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara
pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur upacara Susilo Bambang
Yudhoyono.
Sumber : wikipedia